AKARTA, KOMPAS.com - Indonesia harus segera mengintrospeksi diri berkait kegagalan ekonomi menyejahterakan rakyat secara komprehensif selama ini. Salah satu penyebabnya adalah kesalahan sendiri karena masuk globalisasi tanpa mengintegrasikan pasar dalam negeri. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan hal ini dalam diskusi publik bertajuk "Kedaulatan Ekonomi Nasional, Sudah kah Indonesia Merdeka?" di Jakarta, Rabu (26/8). Turut jadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Strategic Institute, analis pasar modal Yanuar Rizky dan ekonom ECONIT Hendri Saparini. "Semestinya integrasi Indonesia sebagai Negara kepulauan lebih dulu supaya semua masyarakat menikmati berkah ekonomi. Jadi jangan (selalu) salahkan asing karena kita sebenarnya punya hak menentukan sendiri perekonomian kita," kata Faisal. Faisal mencontohkan belum terintegrasinya Indonesia untuk memperkuat pasar domestik. Kalimantan memproduksi batu bara lalu diangkut ke Jawa dan digunakan untuk pembangkit listrik. "Jawa terang-benderang tetapi Kalimantan Barat malah membeli listrik dari Serawak (Malaysia). Apabila pasar domestik terintegrasi dengan baik tentu masyarakat di Kalimantan atau kepulauan mana pun di Indonesia akan menikmati harga jual hasil kebun yang tinggi dan kita di sini bisa menikmati produk itu dengan harga yang lebih rendah dari sekarang," ujar Faisal. Yang terjadi saat ini, imbuh Faisal, adalah perekonomian yang salah urus. Saat ini harga gula pasir sudah Rp 11.000 per kilogram. Tiga bulan lalu, berbagai kalangan sudah mengingatkan pemerintah agar segera mengimpor gula untuk menghadapi el nino yang ditolak mentah-mentah dengan dalih sudah swasembada gula. Ketika pemerintah memutuskan mengimpor saat ini, harga ternyata sudah tinggi dan pedagang di pasar internasional pun menahan stoknya. Menurut Hendri, perekonomian nasional yang cenderung semakin dikuasai asing merupakan akibat lemahnya peranan pemerintah. Pemerintah cenderung memiliki pola pikir sama dengan lembaga donor yang menginginkan liberalisasi pasar Indonesia. "Fakta yang terjadi saat ini adalah meningkatnya kebutuhan Indonesia terhadap importasi bahan pangan maupun sarana produksi pertanian seperti benih. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari Letter of Intent IMF pada November 1998 yang mensyaratkan Indonesia agar membuka pasar pertanian dan pangan untuk liberalisasi," kata Hendri. Hendri mencontohkan, kebutuhan tertinggi sektor pertanian adalah pupuk. Indonesia memiliki sumber daya produksi yaitu gas. Namun, petani tetap kesulitan pupuk walau pemerintah telah menyubsidi Rp 17,5 triliun, yang mana Rp 16,5 triliun untuk menyubsidi kebutuhan gas produsen pupuk. "Kondisi yang terus terjadi dan uang itu pun berputar-putar di situ tanpa berhasil banyak bagi rakyat. Padahal kita cukup merubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Migas agar tetap ada pasokan gas untuk kebutuhan domestik. Kalau pemerintah tidak mau mengintervensi karena alasan liberalisasi, maka kondisi seperti ini akan terus terjadi," jelas Hendri.
|